Murid SD dapat dipahami dengan cara mengenali karakteristiknya
yang mem- bedakan dirinya dari kelompok usia lainnya. Karakteristik
murid SD antara lain digam- barkan dari sudut karakteristik fisikal,
sosial, emosional, dan kognitif. Dalam uraian ini akan dibahas
karakteristik kognitif saja.
Pengelompokan yang cukup akomodatif secara psikologis membagi dua usia murid SD yaitu kelompok 6-10 tahun dan kelompok 10-13 tahun (Gunawan, 1992). Perkembangan yang menonjol pada periode pertama ditandai dengan kegiatan belajar membaca dan tercapainya penguasaan beberapa pengetahuan dan kecakapan. Oleh kare- na itu, banyak ahli pendidikan menyarankan agar murid diberi kesempatan untuk belajar sambil berbuat (learning by doing). Periode kedua usia sekolah dasar ditandai oleh keinginan untuk belajar lebih dan tumbuhnya bermacam-macam minat. Misalnya: mulai timbul minat terhadap hewan piaraan, hasil-hasil teknologi atau mulai terbentuknya berbagai macam hobi. Murid juga mulai mengembangkan pengertian-pengertian tentang sebab akibat, membentuk konsep dan mulai memecahkan persoalan-persoalan sederhana.
Selain apa yang diuraikan di atas, dapat dicatat juga pendapat Biehler dan Snow- man (1982) tentang karakteristik kognitif murid sekolah dasar, yakni:
Kedua pendapat di atas pada dasarnya mengemukakan secara kognitif
anak-anak usia sekolah dasar siap matang untuk ber-kembang sesuai
dengan perkembangannya masing-masing.
PERBEDAAN INDIVIDUAL MURID-MURID SD
Apresiasi kebutuhan-kebutuhan anak secara umum merupakan dasar untuk mema- hami murid, walaupun tidak harus selalu demikian. Studi yang telah dilakukan oleh psikolog (Vasta dkk., 1992), menunjukkan adanya pola umum dan lingkaran perkem- bangan yang sama pada setiap anak, namun diikuti oleh hasil yang berbeda karena faktor internal maupun eksternal, sering kita kenal dengan perbedaan individual.
Perbedaan individual dalam hal ini adalah perbedaan kemampuan anak yang banyak di jumpai di sekolah dasar. Hal tersebut diperjelas dengan hasil pengukuran psikologis (IQ). Sekalipun hasil pengukuran tersebut relatif sama pada beberapa orang murid, maupun hasil tersebut menunjuk pada hasil belajar yang berbeda-beda. Hatch
Narzet, Perbedaan Individual dalam Proses Pembelajaran di Sekolah Dasar 33
dan Coster (1961) memberi contoh: area umum yang selalu berbeda pada
tiap individu, karena itu mendapat perhatian guru maupun orang tua,
yaitu:Pengelompokan yang cukup akomodatif secara psikologis membagi dua usia murid SD yaitu kelompok 6-10 tahun dan kelompok 10-13 tahun (Gunawan, 1992). Perkembangan yang menonjol pada periode pertama ditandai dengan kegiatan belajar membaca dan tercapainya penguasaan beberapa pengetahuan dan kecakapan. Oleh kare- na itu, banyak ahli pendidikan menyarankan agar murid diberi kesempatan untuk belajar sambil berbuat (learning by doing). Periode kedua usia sekolah dasar ditandai oleh keinginan untuk belajar lebih dan tumbuhnya bermacam-macam minat. Misalnya: mulai timbul minat terhadap hewan piaraan, hasil-hasil teknologi atau mulai terbentuknya berbagai macam hobi. Murid juga mulai mengembangkan pengertian-pengertian tentang sebab akibat, membentuk konsep dan mulai memecahkan persoalan-persoalan sederhana.
Selain apa yang diuraikan di atas, dapat dicatat juga pendapat Biehler dan Snow- man (1982) tentang karakteristik kognitif murid sekolah dasar, yakni:
Siswa SD biasanya ingin menceritakan
apakah mereka mengetahui jawaban yang benar atau tidak. Konsep benar
dan salah mulai berkembang. Biasanya, pada mula- nya berkenaan dengan
kegiatan tertentu dan secara bertahap menjadi tergenerali- sasi. Ada
perbedaan antara laki-laki dan peremluan akademik. Nyata jelas
perbe- daan dalam gaya kognitif.
(Elementary school pupils are
usually eager to recite whether they know the right answer or not.
Concepts of right and wrong begin devekop. Usually these are
concerned with specific act at first and only gradually became generally
become generalzed. These are sex differences in specific abilities and
in overall academic performance. Differences in cognitive style
become apparent).
PERBEDAAN INDIVIDUAL MURID-MURID SD
Apresiasi kebutuhan-kebutuhan anak secara umum merupakan dasar untuk mema- hami murid, walaupun tidak harus selalu demikian. Studi yang telah dilakukan oleh psikolog (Vasta dkk., 1992), menunjukkan adanya pola umum dan lingkaran perkem- bangan yang sama pada setiap anak, namun diikuti oleh hasil yang berbeda karena faktor internal maupun eksternal, sering kita kenal dengan perbedaan individual.
Perbedaan individual dalam hal ini adalah perbedaan kemampuan anak yang banyak di jumpai di sekolah dasar. Hal tersebut diperjelas dengan hasil pengukuran psikologis (IQ). Sekalipun hasil pengukuran tersebut relatif sama pada beberapa orang murid, maupun hasil tersebut menunjuk pada hasil belajar yang berbeda-beda. Hatch
- Achievement : kinerja skolastik (scholastic performance);
- Anatomy : tinggi, berat, dan warna kulit (height,weight compelexion);
- Emotions : stabilitas, percaya diri, kebijaksanaan, dan ketekunan (stability, self- reliance, noise, tact, persistance);
- Interest : hobi, sahabat, dan aktivitas (hobbies, friends, activities);
- Physiology : kemampuan menyimak, aktivitas visual, dan ketahanan (hearing, visual activities, endurance);
- Psychology : kecepatan reaksi, kecepatan asosiasi dan koordinasi (speed of reaction, speed of association and coordination);
- Sosial perspectives: suku, politik, agama dan sikap ekonomi (racial, political, religion and economic aptitudes).
PENDEKATAN PENGELOLAAN KELAS
Dalam pengelolaan kelas dikenal dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekat- an klasikal dan individual. Masing-masing pendekatan mempunyai kelebihan dan keku- rangan. Pendekatan klasikal dimaksudkan guru memperlakukan sejumlah murid sama rata, sementara dalam pendekatan individual guru memperlakukan dan melayani murid sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Pendekatan klasikal yang diadaptasi dalam sistem pengelolaan kelas di Indonesia, khususnya di sekolah dasar kurang memberikan sumbangan yang kaya dalam pemben- tukan perilaku murid-murid sebagai pribadi yang unik. Dalam artian kecepatan murid dalam menginternalisasi bahan ajar atau materi kuran begitu dihiraukan guru. Guru lebih banyak mengambil sikap seragam (jalan tengah). Tindakan seperti ini, terutama di kelas-kelas SD sangat riskan. Sebagai contoh: masih lemahnya kemampuan baca-tulis- hitung murid-murid di kelas-kelas awal disebabkan gagalnya guru melayani siswa sesuai dengan individualitas kemampuan belajarnya. Pada akhirnya bermuara pada tingginya angka tinggal kelas.
Jarolimek dan Foster (1960) menekankan bahwa baca-tulis-hitung (basic skill- three R’s) merupakan kemampuan dasar yang tidak bisa ditawar-tawar dan harus sece- patnya dikuasai murid. Kegagalan menguasai kemampuan dasar ini akan cukup meng- ganggu program-program kelas berikutnya. Menurut mereka salah satu kunci keber- hasilan penguasaan kemampuan dasar tersebut bila guru mampu menyusun dan melak- sanakan program pembelajaran yang individualized.
Untuk menyusun program individual diperlukan tujuan, bahan, dan kegiatn peng- ajaran yang berlain-lainan. Setiap bahan dan kegiatan itupun memerlukan peralatan, metode, dan media instrusional yang berbeda-beda pula. Guru harus mengontrol setiap program siswa yang berbeda-beda sehingga betapa banyaknya siswa yang harus dila-
34 JURNAL PENDIDIKAN &
PEMBELAJARAN, VOL. 9, NO. 1, APRIL 2002: 31-36
yani
apalagi dengan kondisi nyata di Indonesia, yakni ditandai oleh rasio
guru-murid yang cukup besar, misalnya 1 : 40. Dengan rasio sebesar itu
sulit mendekati murid secara individual. Akan tetapi tuntutan akan
peningkatan mutu pendidikan, mau tidak mau membutuhkan
terobosan-terobosan yang dapat mempertajam kekurangan pende- katan
klasikal.
PENDEKATAN KLASIKAL YANG INDIVIDUAL
Pembahasan di atas menunjukkan
seolah-olah pendekatan pengelolaan kelas yang individual lebih unggul
dari pada pendekatan klasikal. Namun demikian penilis juga telah
mencoba mengungkapkan bahwa kondisi persekolahan menuntut adanya
adaptasi sistem klasikal yang lebih komprehensif. Untuk itu pernyataan
yang perlu dijawab ada- lah upaya apa yang perlu dilakukan agar
pendekatan klasikal tetap dapat mengakomo- dasikan perbedaan
individual, dalam arti individualitas yang merupakan potensi yang
layak untuk berkembang tetap tersalurkan dalam suasana klasikal yang
ada. Untuk itu kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana cara
menyusun program perseorangan. Dalam hubungan menyusun program
perseorangan di atas menurut Charles (1980), yang memperkenalkan
istilah COATS yaitu “baju’ untuk semua siswa atau beberapa siswa yang
dipilih berdasarkan kemampuan dan kemandiriannya. Yang dimaksud de-
ngan “baju’ adalah satuan pelajaran untuk pembelajaran individual yang
telah disesuai- kan menurut kebutuhan, kemampuan, kecepatan beberapa
siswa masing-masing atau beberapa orang siswa yang dipilih berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
- C (content), materi/isi pembelajaran yang akan dipelajari siswa secara individual.
- O (objective), tujuan pembelajaran khusus yang diharapkan dapat dicapai oleh sis- wa setelah pembelajaran berlangsung.
- A (activities), merupakan prosedur kerja dan alat-alat bantu yang akan digunakan oleh siswa dalam pembelajaran tersebut.
- T (time), waktu yang dipergunakan oleh siswa dalam menyelesaikan tugas atau ke- giatan pembelajaran.
- S (supervision), cara guru melakukan kontrol atau bimbingan individual terhadap para siswanya.
Dalam pelaksanaan pembelajarannya,
mula-mula siswa memperoleh satuan pela- jaran masing-masing secara
individual. Kemudian guru memberikan penjelasan tentang maksud
pembelajaran individual yang akan dilaksanakan dan kegunaannya.
Sela- njutnya para siswa dipersilahkan belajar secara bebas menurut
cara dan gaya belajarnya masing-masing. Guru mengontrol siswa yang
belajar, membantu atau membimbing mereka seperlunya. Setelah
pembelajaran individual berjalan kira-kira sepuluh atau dua puluh
menit, lalu bentuk pembelajaran individual diubah ke bentuk
pembelajaran kla- sikal biasa lagi. Begitu berulang-ulang dilakukan
percobaan-percobaan dalam menganti- sipasi perbedaan individual yang
dimaksud dalam tulisan ini.
Sumber Source : Klik In
Rujukan :
Biehler, R.F. & Snowman, J. 1982. Psychology Applied to Teaching. Boston: HouftonMifflin Company.
Charles, C.M. 1980. Individualizing Instruction. S. Louis: The C.V. Mosby Company. Hatch, R.N. & Costar, J.W. 1961. Guidance Service in the Elementary Sschool. Iowa:
WMC Brown Company Publisher.
Jarolimek, J. & Foster, C.D. 1976. Teaching and Learning in the Elementary School. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: Theory and Practice (fourth edition). Boston: Allyn and Bacon.
Vasta, H. & Miller, J. 1992. Child Psychology the Modern Science. New York: John
Wiley & Son, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar